Istilah keluarga sakinah sudah menjadi jargon populer di tengah kehi-dupan umat Islam, lebih-lebih lagi dalam suasana pernikahan. Istilah ini seringkali diserangkaikan dengan kata mawaddah dan rahmah. Ungkap-an yang pernah ditemui dalam kebanyakan surat undang pernikahan adalah “Selamat menempuh hidup baru, semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah”.
Jika ditinjau dari konsep al-Qur`an, tepatnya pada surat al-Ruum:21, maka akan ditemukan ketiga istilah di atas. Bahkan urutannya juga demikian, yaitu: sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sekilas, tersirat bahwa sakinah secara otomatis akan menghasilkan mawaddah dan rahmah. Dalam konteks inilah muncul paradigma bahwa sakinah pun akan muncul secara otomatis apabila seseorang telah menikah. Konsekuensinya, isti-lah keluarga sakinah dipahami secara sederhana.
Sebenarnya, pembentukan keluarga sakinah tidak sesederhana itu. Di dalamnya sarat dengan perubahan paradigma yang oleh sebagian keluarga justru mengabaikannya. Membentuk keluarga sakinah mestinya dimulai dari mawaddah dan rahmah. Kedua konsep inilah yang menjadi modal utamanya.
Mawaddah dan rahmah banyak dipahami secara serangkai, yaitu “kasih dan sayang”. Pemahaman ini tidak menyimpang, tetapi belum utuh dan belum sampai pada substansi yang dimaksud. Kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki perbedaan yang substansial.
Mawaddah adalah kasih sayang antara kedua pasangan yang berorientasi kepada fisik dan keseimbangan. Orientasi fisik yang dimak-sud adalah performan yang dapat diukur oleh setiap orang, demikian juga dengan keseimbangan. Performan tersebut meliputi tutur sapa, pelayan-an, hormat menghormati, penampilan, keinginan, dan sejenisnya. Pada umumnya, setiap pasangan menginginkan performan yang sempurna dari pasangannya. Sedangkan konsep keseimbangan dimaksudkan kasih sayang yang berbalas. Maksudnya, jika seorang suami mengucapkan kata sayang kepada istrinya, pada saat yang sama, seorang suami juga mengharapkan ada kata sayang dari istrinya. Jika seorang suami meng-hargai mertuanya (keluarga istri), pada saat yang sama, seorang suami juga berharap agar istrinya menghargai mertuanya (keluarga suami).
Jika mawaddah sudah utuh di tengah-tengah keluarga, maka kasih sayangnya akan meningkat menjadi rahmah, yaitu kasih sayang yang tulus yang tidak mengharapkan balasan, tidak melihat performan, dan seluruh yang bersifat fisik. Pada tingkat ini, pasangan sudah masuk dalam tataran soul mate (belahan jiwa). Belahan jiwa dapat disamakan dengan bagian integral dari jiwa, yang dengan keberadaannya jiwa akan jadi sempurna, demikian juga sebaliknya.
Nah, persoalan yang sering muncul, keluarga banyak yang tidak sukses dalam membangun rasa mawaddah. Ketidaksuksesan ini lebih banyak disebabkan oleh paradigma yang berkembang di tengah masyarakat yang menjadikan pasangannya sebagai prioritas nomor “sekian”. Misalnya, tutur sapanya, baik suami maupun istri, keramahannya lebih disuguhkan kepada orang lain ketimbang pada istri atau suaminya sendiri; penampilan sempurnanya, pakaian bagusnya, kewangian tubuhnya diprioritaskan untuk orang lain, sedangkan untuk pasangannya hanya tinggal sisa-sisanya saja. Bahkan ada ungkapan “ah, dia kan sudah menjadi suami saya/istri saya, ndak perlulah rapi-rapi amat”.
Sebagai contoh, saya akan kemukakan cuplikan dialog saya dengan salah seorang jama`ah dalam suatu ceramah:
Jama`ah :
“... Pak ustadz, saya mau nanya, “suami saya lebih suka pada wanita yang di luar sana daripada saya sebagai istrinya, padahal dulu katanya dia mencintai saya”, apa yang harus saya lakukan Pak?
Jawab (saya) :
“...sebelum membahas apa yang akan Ibuk lakukan, sebaiknya kita lihat dulu masalahnya. Masalahnya hanya satu Buk, wanita di luar sana lebih cantik, lebih ramah, dan lebih wangi daripada Ibuk.
Jama`ah : “Kok bisa begitu Pak, bagaimana Bapak tahu kalau dia lebih daripada saya?”
Jawab (saya) :
“Konsepnya sangat sederhana Buk, coba Ibuk bandingkan, Ibuk sendiri cantikan mana, di rumah atau di luar rumah? Misalnya, ketika Ibuk mau belanja ke pasar, biasaya Ibuk mandi dulu, dandan, pakai wangi-wangian, pilih baju yang bagus, bahkan setiap bagian dari penampilan itu Ibuk lihat satu persatu. Pernahkah hal yang sama Ibuk suguhkan hanya untuk suami di rumah; pernahkah Ibuk perbaharui kembali penampilan Ibuk di rumah? Tidak kan? Ibuk pun ketika di luar sana cantik, tetapi sesampai di rumah sudah usang, alami tanpa poles, sehingga suami Ibuk hanya melihat sisa-sisa penampilan itu di rumah. Itulah kenapa saya berani mengatakan bahwa wanita di luar sana lebih cantik daripada wanita di rumah, termasuk Ibuk ketika di rumah. Oleh karena itu, perbaiki penampilan, buat diri Ibuk lebih cantik, lebih wangi, dan lebih ramah daripada wanita di luar sana, insya Allah suami Ibuk akan betah di rumah”.
Jama`ah tersebut akhirnya mengakui semua itu.
Konsep ini sebenarnya juga berlaku untuk para suami. Jangan biarkan performan kita di depan istri dikalahkan oleh laki-laki lain di luar sana, karena pada akhirnya kita akan diabaikan oleh istri. Inilah konsep mawaddah itu, yaitu memprioritaskan segala keparipurnaan kita untuk pasangan masing-masing. Pemprioritasan ini harus seimbang, tidak boleh berat sebelah.
Ketika mawaddah sudah terwujud, insya Allah, rahmah akan ikut. Ketika masing-masing pasangan merasa cocok dengan pasangannya, akan muncul rasa soul mate, sehingga yang muncul di tengah keluarga itu adalah saling membutuhkan. Suasana inilah yang menimbulkan kenyaman keluarga, yang dengan kenyamanan itu, masing-masing pasangan merasa tenteram di rumahnya. Kalau sudah tenteram, masing-masing pasangan akan menjadikan rumahnya sebagai peristirahatan terindah dalam hidup. Suasana inilah yang kita sebut “keluarga sakinah”. Wallahu a`lam.
sumber dari tulisan artikel Bapak Sufrinas.
Comments